JALATERA.-Perencanaan pembangunan desa yang tertuang dalam RPJM Des masih dipandang sebelah mata oleh entitas desa (Pemdes, BPD, LKM maupun masyarakat desa). RPJM Des disusun semata-mata hanya untuk menggugurkan kewajiban dengan maksud sebagai syarat pencairan Dana Desa.RPJM Des belum dipahami sebagai panduan pembangunan desa dalam rentang waktu 6 tahun seiring masa jabatan Kades.Padahal, RPJM Des merupakan wajah awal; kemana desa akan dibawa.Mengacu Permendagri Nomor 114 tahun 2014; RPJM Des harus disusun secara normatif dengan tahapan-tahapan yang lumayan melelahkan.Juklak juknis Penyusunan RPJM Des; berupa Peraturan Bupati, memang belum terpapar secara rinci, masih banyak ruang kosong permasalahan teknis yang tidak dipahami Tim Penyusun. Ditambah lagi; minimnya bimbingan teknis bagi desa.Sehingga lumrah ketika proses penyusunan RPJM Des belum berlangsung sesuai idealita. Kelemahan vatal yang seringkali terjadi adalah tidak maksimalnya pelaksanaan pada tahapan ketiga yaitu Pengkajian Keadaan Desa (PKD). Tahapan ini diharapkan menjadi wahana demokratisasi desa, munculnya partisipasi masyarakat hingga hadirnya prakarsa-prakarsa brilian masyarakat. Karena tahapan ini dilakukan untuk menemukenali potensi desa sekaligus belanja masalah desa. Teknis dan metodologi Pengkajian Keadaan Desa seringkali belum dipahami dengan baik sehingga esensi kajian kondisi Desa tidak tercapai. Pengkajian Keadaan Desa dilakukan dalam diskusi kelompok terbatas (Musdus) berbasis teritorial (RT/RW atau Dusun) dan berbasis sektoral (kelompok-kelompok masyarakat desa) menggunakan analisis Sketsa Desa, Diagram Kelembagaan (Diagram Venn), Kalender Musim, Analisa Kecenderungan Perubahan (Trend and Change) dan Diskusi Sektoral, yang selanjutnya dikomparasi melalui Analisa Triangulasi agar mendapatkan kedalaman analisa. Alat bantu analisis tersebut biasanya ditinggalkan karena dipandang ribet dan jarang yang menguasai teknisnya. Bagaimana akan mampu memotret kondisi desa dengan hasil terbaik manakala teknik analisisnya tidak dilakukan? Bagaimana akan mampu merunut masalah manakala tidak dilakukan secara terstruktur? Bagaimana akan mampu membuat ‘lompatan’ ataupun inovasi manakala kajian teknis diabaikan? Kesalahan-kesalahan teknis tersebut secara otomatis akan mendistorsi kualitas perencanaan pembangunan desa (RPJM Des) dan muara akhirnya dapat ditebak; desa tersebut gagal dalam perencanaan pembangunannya dan muaranya akan stagnan. Berjalan namun tanpa dinamika, tanpa lompatan berarti. Tulisan ini semoga menjadi koreksi bagi semua stakeholders desa sekaligus pemangku kepentingan di tingkat supra desa. Waktu yang pendek; hanya 3 bulan sejak Kades dilantik, seringkali menjadi alasan yang memperparah kualitas perencanaan pembangunan desa. Apalagi Kades baru yang belum memiliki pengalaman dalam mengelola pemerintah desa biasanya akan gagap menyikapi. Lebih parah lagi; masih ada juga Pemdes yang berperilaku naif; penyusunan RPJM Des dilakukan dengan model copy paste dari desa lain yang telah selesai menyusun. Kebat kliwat seprapat tamat. RPJM Des yang semestinya menjadi acuan saat digelar musyawarah dusun (Musdus), tiap kali Musdus akhirnya selalu membuat usulan baru yang lebih banyak berdasar keinginan bukan berdasar kebutuhan masyarakat. Kades yang berperilaku seperti ini; boleh dikatakan Kades yang tidak punya aturan dan tidak layak menjadi kepala desa….!!!! Salam dari desa……   Penulis : Kun Prastowo

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *