
BIOGAS SEBAGAI ENERGI HIJAU DAN STRATEGI MENGURANGI ANCAMAN WATER, SANITATION AND HYGIENE (WASH) DI KABUPATEN BOYOLALI
REVOLUSI HIJAU DAN DAMPAK PADA PERTANIAN
Perubahan iklim di Indonesia menjadi sebuah ancaman serius, diperkirakan akan terjadi peningkatan suhu udara 0,5 derajat celsius pada tahun 2030. Kasus kekeringan juga akan meningkat di sebagian besar Pulau Jawa dan hujan lebat hingga ekstrem juga cenderung meningkat hingga 40 persen dibandingkan saat ini. Indonesia juga merupakan bagian dari penyumbang emisi gas rumah kaca dan pada tahun 2021 masuk peringkat ke sepuluh dunia, dimana total emisi mencapai 615,93 MtCO2 atau sekitar 1,72 % dari total emisi karbon Global.
Dalam proses budidaya pertanian, kondisi ideal agar bisa berkelanjutan adalah mengintegrasikan on farm (Pertanian) dan off farm (Peternakan), dimana ketersediaan pupuk organic akan mengurangi pemakaian pupuk kimia dan pestisida. Model pertanian mulai berubah Ketika pemerintahan orde baru menerapkan kebijakan “REVOLUSI HIJAU” pada tahun 1960-an. Program ini dikenal dengan nama Bimas (Bimbingan Masyarakat) dan Inmas (Intensifikasi Massal). Revolusi Hijau bertujuan untuk meningkatkan produktivitas pertanian, khususnya subsektor pertanian pangan, melalui penerapan teknologi modern seperti bibit unggul, pupuk, dan pestisida.
Setelah sekian decade, penggunaan intensif pupuk kimia dan pestisida untuk meningkatkan hasil panen telah mencemari tanah, air, dan udara. Pencemaran ini tidak hanya mengancam kesehatan manusia dan ekosistem, tetapi juga mengurangi kesuburan tanah dalam jangka panjang. Selain itu, praktik pertanian monokultur yang mengandalkan satu jenis tanaman dalam skala besar telah menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati tanaman lokal dan satwa liar. Hal ini mengganggu keseimbangan ekosistem dan membuat pertanian menjadi lebih rentan terhadap hama dan penyakit. Revolusi Hijau juga berkontribusi pada perubahan iklim melalui praktik-praktik seperti penggundulan hutan untuk lahan pertanian dan emisi gas rumah kaca dari penggunaan pupuk kimia. Dampak lainnya adalah berkurangnya minat petani untuk beternak khususnya sapi maupun kambing, ketidaktersediaan pupuk kandang mengakibatkan ketergantungan yang sangat besar pada pada pupuk kimia dan pestisida.
LIMBAH SAPI, ANCAMAN ATAU POTENSI ?
Kabupaten Boyolali, propinsi Jawa Tengah, merupakan wilayah peternakan sapi baik perah maupun sapi potong khususnya di kecamatan Selo, Ampel, Musuk, Cepogo dan Mojosongo, dimana rata-rata setiap keluarga memiliki 2-3 ekor sapi. Tercatat di Badan Pusat Statitik (BPS) 2024, populasi sapi mencapai 135.150 ekor. Pengelolaan limbah sapi yang baik dan benar akan menjadi potensi dalam mendukung ancaman perubahan iklim, tetapi bila tidak benar dalam pengelolannya akan menjadi ancaman khususnya pada Water, Sanitation and Hygine (WASH).
“Bagaiman proses limbah sapi menjadi ancaman pada WASH ??”
Selama ini peternak membuang kotoran limbah padat sapi dengan dibuang dan ditumpuk di belakang rumah, dan limbah urine maupun air pembersihan kandang ke selokan yang berada di dekat pemukiman tanpa melakukan pengolahan terlebih dahulu. Pengelolaan limbah sapi dengan cara tersebut akan berdampak , diantaranya :
- Limbah padat yang dikumpulkan dibelakang rumah biasanya baru digunakan untuk pupuk setelah tiga bulan, model pengelolaan ini akan berpengaruh pada :
- Bau yang tidak sedap sepanjang tahun, dan akan berpengaruh pada kesehatan khususnya pada kelompok rentan yaitu anak-anak dan ruang konflik antar tetangganya khususnya yang tidak memiliki sapi.
- Pada saat hujan akan mencemari sumur tanah yang menjadi sumber baku air minum dan kebutuhan sehari-hari.
- Pupuk sapi yang terkena matahari dan hujan akan mengalami penurunan kualitas dan efektivitasnya, karena rusaknya mikroorganisme yang bermanfaat bagi tanaman.
- Limbah cair yang dibuang ke selokan, akan berpengaruh pencemaran sungai. Dimana 4 kecamatan diatas berada di ketinggian 450 dpl-1399 dpl dan sungai-sungai akan kering saat kemarau. Akumulasi limbah cair ke sungai akan menimbulkan bau tidak sedap dan saat musim hujan akan berpengaruh pada sumber mata air pada wilayah kecamatan dibawahnya. Dimana karakteristik gunung Merapi dan merbabu di Kabupaten Boyolali, sumber mata air yang melimpah berada pada kecamatan-kecamatan dibawah 4 kecamatan tersebut.
DIGESTER BIOGAS SOLUSI PENGELOLAAN LIMBAH SAPI SEBAGAI UPAYA MITIGASI PERUBAHAN IKLIM
Teknologi biogas sudah dikenal sejak tahun 1990-an dan teknologi ini diyakini mampu menyelesaikan berbagai persoalan, diantaranya sumber energi memasak pengganti gas elpiji serta mampu menjaga pencemaran air, sanitasi yang sehat bagi lingkungan termasuk ketersedian pupuk organic mengurangi pemakaian pupuk kimia dalam pertanian.

Gambar : Alur Digester Biogas Limbah Ternak
Dengan 1 teknologi biogas akan mampu menyelesaikan berbagai masalah baik itu Water, Sanitation and Hygine (WASH), energi hijau pengganti elpiji atau kayu bakar dan pertanian berkelanjutan, konflik di tingkat masyarakatmampu diminalisir akibat bau limbah. Dengan model sirkulasi mulai pembersihan kandang langsung masuk ke digester dan kotoran yang sudah tidak menghasilkan gas methan akan keluar secara otomatis tergantikan dengan limbah baru. Keunggulan biogas permanen bisa dipakai sepanjang tahun, tidak butuh perawatan khusus.
Kotoran yang keluar akan siap menjadi kompos (Slurry) baik cair maupun padat. Setiap 1 digester biogas akan menghasilkan pupuk kompos (Slurry) antara 60-84 kg tiap 3 minggu dari 120 kg bahan dasar yang diolah biogas untuk ukuran 6 M3. Slurry yang dihasilkan bisa disimpan dalam karung.
Dibandingkan dengan ditumpuk, membutuhkan waktu waktu selama 3 bulan untuk matang dan baru siap diaplikasikan ke pertanian. Butuh tenaga ekstra untuk mengolah limbah sapi dengan cara ini yaitu dengan perlakukan sering di bolak-balik agar cepat matang. Resiko yang paling tinggi dengan model pengelolaan ini adalah ancaman pada WASH.

Biogas akan mampu melahirkan Sistem pertanian berkelanjutan yaitu suatu pendekatan dalam pengelolaan lahan pertanian yang bertujuan untuk menghasilkan produk pertanian secara ekonomis, sosial, dan lingkungan yang berkelanjutan. Sistem ini harus mampu mempertahankan produksi pangan dalam jangka panjang tanpa merusak sumber daya alam seperti tanah, air, dan udara. Dalam praktek yang dilakukan dalam pengelolaan pertanian organic efisiensi pemakain pupuk kimia mencapai 50 % sampai 60 %. Hal ini juga mampu menyiapkan tetersedian pangan yang sehat untuk di konsumsi.
Meskipun Biogas sudah dikenal sejak tahun 1990an, tetapi realitas jumlah digester yang berkembang di Masyarakat khususnya di Kabupaten Boyolali jumlahnya belum signifikan dengan jumlah sapi yang ada. Salah satu faktornya adalah mahalnya investasi pembangunan digester yang cukup mahal, untuk ukuran 6 M3 antara 13 juta sampai 15 juta bila dikerjakan oleh konsultan atau perusahaan. Dibutuhkan upaya mendorong memperbanyak tukang ahli di tingkat masyarakat yang memiliki kemampuan dalam membangun digester biogas, dengan strategi ini efisiesni Pembangunan bisa mencapai 30 % sampai 50 % bila dibandingkan dikerjakan oleh konsultan. Advokasi ke pemerintah perlu dilakukan khususnya dalam pengembangan skema kredit yang murah bagi peternak untuk Pembangunan digester biogas dan ini bagian dari bentuk penghargaan pemerintah atas kontribusi masyarakat dalam mitigasi perubahan iklim.
Ditulis oleh Zakaria (Yayasan Jalatera)